Metode Perancangan Place Making

Metode Perancangan Place Making - aveharysaktidotcom

Metode Perancangan Place Making merupakan pendekatan dalam konteks pembangunan kota dan penataan ruang publik yang berpusat pada manusia. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis atau fisik dari sebuah bangunan atau ruang, melainkan menitikberatkan pada bagaimana ruang tersebut dapat menciptakan pengalaman yang bermakna bagi masyarakat. Place making mengajak para perancang untuk memahami kebutuhan sosial, budaya, dan psikologis dari komunitas pengguna, sehingga ruang yang dirancang tidak hanya fungsional tetapi juga mengundang partisipasi, membangun interaksi sosial, dan menciptakan rasa memiliki.

Dalam praktik arsitektur dan perencanaan kota, metode place making digunakan sebagai strategi untuk menghidupkan kembali ruang-ruang pasif, seperti taman kota yang jarang dikunjungi atau sudut-sudut kota yang kurang termanfaatkan, menjadi ruang publik yang aktif dan inklusif. Proses ini melibatkan kolaborasi antara perancang, pemerintah, dan masyarakat setempat untuk menciptakan ruang yang mencerminkan identitas lokal dan memperkuat koneksi emosional antar penggunanya. Jadi, place making tidak hanya menghasilkan ruang secara fisik, tetapi juga menciptakan “tempat” yang berdaya hidup, relevan secara sosial, dan berdampak positif terhadap kualitas kehidupan masyarakat.

Prinsip Desain Metode Place Making

Beberapa prinsip dasar dalam metode place making meliputi:

1. Oriented to People (Berorientasi pada Manusia)

Prinsip pertama dalam place making adalah berorientasi pada manusia. Artinya, setiap ruang yang dirancang harus memperhatikan kebutuhan, perilaku, dan kebiasaan masyarakat yang akan menggunakannya. Pendekatan ini menghindari desain yang bersifat top-down dan teknokratis semata, dan lebih menekankan pada penciptaan ruang yang nyaman, ramah, dan sesuai dengan pola hidup pengguna sehari-hari. Tujuan utamanya adalah menciptakan ruang yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga fungsional, inklusif, dan mampu mendukung interaksi sosial.

2. Identitas dan Karakter Lokal

Salah satu kekuatan dari place making adalah kemampuannya untuk membangun identitas yang kuat melalui integrasi elemen lokal. Dalam praktiknya, perancang perlu menyerap budaya, sejarah, arsitektur tradisional, atau nilai-nilai lokal ke dalam desain, sehingga ruang yang tercipta memiliki keunikan dan rasa keterikatan dengan masyarakat setempat. Hal ini tidak hanya memperkuat rasa memiliki, tetapi juga menjadikan tempat tersebut representatif terhadap karakter dan jiwa dari lingkungan di mana ia berada.

3. Keterlibatan Komunitas

Place making menekankan proses perancangan yang bersifat partisipatif. Keterlibatan komunitas dalam setiap tahap perancangan, mulai dari pengumpulan ide, diskusi, hingga evaluasi, membuka ruang dialog antara perancang dan masyarakat sebagai pengguna utama ruang. Proses ini tidak hanya meningkatkan relevansi desain, tetapi juga membangun rasa tanggung jawab bersama terhadap ruang publik, sehingga keberlanjutan dan pemeliharaan ruang lebih terjamin dari waktu ke waktu.

4. Fleksibilitas Fungsi

Ruang publik yang dirancang dengan prinsip place making harus mampu mengakomodasi berbagai jenis kegiatan yang mungkin terjadi, baik formal maupun informal. Desain yang fleksibel memungkinkan ruang tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan masyarakat seiring waktu. Misalnya, sebuah taman kota bisa berfungsi sebagai area bermain anak di pagi hari, tempat pasar komunitas di akhir pekan, dan ruang pertunjukan seni di malam hari. Fleksibilitas ini membuat ruang tetap relevan dan dinamis sepanjang waktu.

5. Aktivasi Ruang

Prinsip aktivasi ruang bertujuan untuk menghidupkan ruang publik dengan menghadirkan aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi yang beragam. Aktivasi bisa diwujudkan melalui kehadiran kafe, pertunjukan seni, kegiatan komunitas, atau pasar temporer yang menarik partisipasi publik. Ruang yang aktif tidak hanya menciptakan keamanan alami melalui kehadiran orang (natural surveillance), tetapi juga mendorong interaksi sosial yang memperkuat kohesi komunitas.

6. Aksesibilitas dan Konektivitas

Agar ruang publik dapat berfungsi optimal, ia harus mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Selain itu, ruang tersebut juga harus terhubung secara baik dengan jaringan transportasi, ruang terbuka lainnya, dan pusat-pusat aktivitas masyarakat. Konektivitas ini memungkinkan pergerakan yang lancar dan memperluas jangkauan penggunaan ruang, menjadikannya sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar.

Ciri dan Karakteristik Desain Metode Place Making

Desain yang menggunakan metode place making umumnya memiliki ciri dan karakteristik sebagai berikut:

Ruang yang Ramah Manusia (Human Scale)

Desain yang mengadopsi metode place making selalu mengedepankan skala manusia. Artinya, ruang dirancang tidak secara monumental atau megah, melainkan lebih bersifat akrab, nyaman, dan mudah diakses oleh pengguna. Skala manusia menekankan pada proporsi yang sesuai dengan tubuh dan persepsi manusia, baik dari segi visual maupun fungsional. Ruang seperti ini membuat pengguna merasa aman, rileks, dan terdorong untuk lebih lama tinggal dan beraktivitas di dalamnya.

Aktivitas Spontan dan Terprogram

Karakter penting lainnya adalah kemampuannya mendukung berbagai aktivitas, baik yang terjadi secara spontan maupun yang direncanakan. Desain tempat memungkinkan warga untuk duduk santai, berjalan kaki, berdagang, bermain, hingga mengadakan pertunjukan atau kegiatan komunitas. Fleksibilitas dalam mendukung kegiatan harian menjadikan ruang tersebut aktif sepanjang hari dan relevan bagi berbagai kelompok masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua.

Elemen Urban Furniture

Keberadaan elemen furnitur kota menjadi bagian integral dari desain place making. Elemen seperti bangku, pencahayaan yang baik, pohon peneduh, signage yang informatif, tempat sampah, dan elemen estetika lainnya tidak hanya memperindah ruang, tetapi juga meningkatkan kenyamanan dan fungsionalitas ruang publik. Kehadiran furnitur yang dirancang dengan baik juga mengarahkan perilaku pengguna dan memfasilitasi interaksi sosial yang positif.

Multifungsi dan Adaptif

Desain ruang dalam metode place making juga ditandai dengan kemampuannya untuk digunakan dalam berbagai kegiatan yang berbeda tergantung waktu, musim, atau kebutuhan. Misalnya, sebuah alun-alun bisa digunakan sebagai tempat olahraga di pagi hari, pasar malam di akhir pekan, dan ruang pertunjukan seni di malam hari. Adaptivitas ini memungkinkan ruang untuk tetap hidup dan relevan tanpa harus dilakukan perubahan fisik yang besar.

Interaktif dan Inklusif

Ruang yang dihasilkan dari metode place making bersifat interaktif dan inklusif, artinya mampu mengundang keterlibatan aktif dari berbagai kelompok pengguna tanpa memandang usia, latar belakang sosial, atau kemampuan fisik. Ruang seperti ini mendorong interaksi antarwarga, memperkuat rasa kebersamaan, dan menciptakan iklim sosial yang harmonis. Inklusivitas juga mencakup penyediaan akses bagi penyandang disabilitas serta ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan dan anak-anak.

Gagasan Dan Ide Desain Dalam Metode Place Making

Metode place making berangkat dari pemikiran bahwa tempat yang baik bukan hanya hasil dari desain fisik yang menarik, tetapi juga dari kualitas sosial yang berkembang melalui keterlibatan aktif manusia dalam menggunakan dan merasakan ruang tersebut. Pendekatan ini menggeser fokus dari sekadar “space” (ruang kosong secara fisik) menjadi “place” (tempat yang memiliki makna dan relasi sosial). Place making berupaya menciptakan ruang yang tidak hanya terlihat bagus di atas gambar atau maket, tetapi yang benar-benar hidup karena digunakan, disukai, dan dihargai oleh masyarakat. Misalnya, alih-alih hanya merancang taman dengan jalur dan vegetasi indah, seorang arsitek dapat memperhatikan bagaimana warga ingin menggunakan taman tersebut, apakah untuk berkumpul, bermain musik, berdagang kecil-kecilan, atau sekadar bersantai, lalu menyesuaikan desainnya berdasarkan kebutuhan itu.

Dalam praktiknya, proses place making sering kali bersinergi dengan strategi participatory design, urban acupuncture, dan tactical urbanism. Desain partisipatif melibatkan masyarakat dalam proses perancangan sejak tahap awal, sehingga gagasan dan aspirasi warga menjadi bagian dari keputusan desain. Sementara itu, urban acupuncture adalah pendekatan intervensi kecil pada titik-titik strategis kota yang dapat memberikan dampak besar secara sosial dan ekologis, seperti memperbaiki trotoar yang rusak di area ramai, membuat taman kecil di lahan kosong, atau mengubah halte usang menjadi ruang komunitas. Tactical urbanism merujuk pada strategi eksperimental yang bersifat sementara, cepat, dan murah, seperti menutup sebagian jalan untuk acara komunitas, menggambar mural jalanan untuk memperlambat lalu lintas, atau menempatkan kursi lipat dan pot tanaman untuk mengaktifkan ruang kosong. Contoh lainnya termasuk mengubah tempat parkir menjadi taman mini sementara (parklet), membuat perpustakaan jalan dari rak bekas, atau menghadirkan panggung kecil portabel untuk pertunjukan musik jalanan. Pendekatan-pendekatan ini memungkinkan place making menjadi lebih responsif, inklusif, dan adaptif terhadap dinamika sosial yang terus berkembang.

Keterbatasan Metode Place Making

Walaupun efektif dalam menghidupkan ruang, metode place making memiliki beberapa keterbatasan:

Bersifat Intervensi Kontekstual

Metode place making pada dasarnya merupakan pendekatan intervensi yang bersifat kontekstual, yaitu bekerja dengan memodifikasi, merevitalisasi, atau mengaktifkan kembali ruang-ruang yang sudah ada. Metode ini tidak dirancang untuk pembangunan dari nol atau proyek greenfield (lahan baru yang belum terbangun sama sekali), melainkan lebih cocok diterapkan pada ruang-ruang eksisting yang pasif, kurang berfungsi, atau tidak memiliki nilai sosial yang cukup kuat. Oleh karena itu, efektivitas metode ini sangat bergantung pada konteks eksisting dan potensi sosial-budaya dari tempat tersebut.

Bukan Gaya Arsitektur

Berbeda dengan modernisme, brutalism, atau gaya arsitektur lainnya yang memiliki ciri visual dan bentuk yang khas, place making bukanlah sebuah langgam arsitektur. Ia tidak menghasilkan bentuk arsitektural tertentu yang dapat dikenali secara visual sebagai ciri khas, melainkan merupakan pendekatan konseptual dan proses perancangan yang berorientasi pada pengguna. Jadi, place making lebih tepat dipahami sebagai metode perancangan berbasis pengalaman dan keterlibatan sosial, bukan sebagai gaya yang dapat diterapkan secara seragam.

Tidak Fokus pada Bentuk Bangunan

Salah satu kekhasan dari place making adalah ketidakberpihakannya pada estetika bentuk bangunan sebagai objek utama. Alih-alih memusatkan perhatian pada komposisi arsitektural, metode ini lebih menitikberatkan pada bagaimana ruang digunakan, dirasakan, dan dihidupi oleh manusia. Pengalaman ruang, kenyamanan penggunaan, dan kualitas interaksi sosial menjadi hal yang lebih penting dibandingkan ekspresi visual bangunan. Hal ini membuat place making sering dianggap “invisible architecture” karena keberhasilannya tidak diukur dari tampilan, tetapi dari fungsionalitas sosialnya.

Tergantung Partisipasi dan Dukungan Sosial

Keberhasilan place making sangat tergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan dukungan sosial dari berbagai pihak, mulai dari komunitas lokal, organisasi sosial, hingga pemerintah. Tanpa keterlibatan warga sebagai pengguna utama, ruang yang dirancang cenderung kehilangan relevansi dan makna sosial. Selain itu, tanpa adanya kolaborasi lintas sektor, proses aktivasi ruang bisa mandek dan tidak berkelanjutan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, terutama di lingkungan yang tingkat partisipasi warganya rendah atau di mana kebijakan publik tidak mendukung desain partisipatif.

Kurang Cocok untuk Proyek Privat Skala Besar

Metode place making lebih efektif diterapkan pada ruang publik, ruang komunitas, atau lingkungan skala kecil hingga menengah. Untuk proyek-proyek privat berskala besar, seperti kompleks perkantoran, superblok, atau kawasan industri, pendekatan ini sering kali kurang relevan karena tujuan utamanya adalah nilai komersial dan efisiensi lahan, bukan kualitas pengalaman sosial. Walaupun prinsip-prinsip place making tetap dapat diadopsi, skalanya perlu disesuaikan dan sering kali terbatas pada area tertentu seperti plaza publik internal, taman interaktif, atau zona pejalan kaki di dalam kawasan.

Tokoh Yang Menerapkan Metode Place Making

1. Jane Jacobs (1916–2006)

Jane Jacobs adalah tokoh penting dalam sejarah awal place making melalui karyanya yang monumental berjudul The Death and Life of Great American Cities (1961). Dalam buku ini, Jacobs mengkritik pendekatan perencanaan kota modern yang terlalu teknokratik dan tidak berpihak pada kehidupan nyata di jalanan kota. Ia menekankan pentingnya aktivitas manusia sebagai inti dari ruang kota yang hidup, serta perlunya keragaman fungsi guna menciptakan dinamika sosial yang sehat. Salah satu gagasan penting dari Jacobs adalah konsep “pengawasan informal oleh masyarakat” atau eyes on the street, yakni peran warga sebagai pengamat aktif ruang publik yang secara alami menciptakan rasa aman dan keterhubungan sosial. Pemikirannya menjadi landasan konseptual awal dari pendekatan place making yang berorientasi pada pengalaman manusia dan keberagaman fungsi ruang.

Sundance Square  -  Jane Jacobs -  Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making - aveharysaktidotcom

Gambar Sundance Square - Jane Jacobs - Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making.

2. William H. Whyte (1917–1999)

William H. Whyte adalah sosiolog urban yang memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman perilaku manusia dalam ruang publik melalui studinya The Social Life of Small Urban Spaces (1980). Dalam riset ini, Whyte menggunakan metode observasi dan dokumentasi video untuk menganalisis bagaimana orang benar-benar menggunakan ruang perkotaan seperti plaza, taman, dan trotoar. Ia menemukan bahwa kenyamanan, fleksibilitas, kemudahan duduk, keberadaan makanan, dan akses sinar matahari merupakan faktor penting yang menentukan apakah suatu ruang digunakan atau diabaikan. Whyte menekankan pentingnya menciptakan ruang yang mengundang, bukan hanya dilihat dari segi desain estetis, tetapi dari sisi kegunaan praktis dan kemampuannya mendorong interaksi sosial secara alami. Pendekatannya menjadi dasar empiris dalam pengembangan place making yang berbasis pada pengamatan langsung dan pengalaman nyata pengguna ruang.

New York City Plaza  -  William H. Whyte  -  Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making - aveharysaktidotcom

Gambar New York City Plaza - William H. Whyte - Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making.

3. Jan Gehl (1936)

Jan Gehl adalah arsitek dan perancang kota asal Denmark yang menjadi pionir dalam pendekatan desain kota yang berpusat pada manusia (human-centered design). Gehl mengembangkan prinsip-prinsip perancangan kota yang tidak hanya ramah terhadap pejalan kaki, tetapi juga mendorong interaksi sosial dan aktivitas luar ruang. Salah satu proyek terkenalnya adalah revitalisasi Strøget Street di Kopenhagen, jalan yang sebelumnya dipenuhi kendaraan lalu lintas dan kemudian diubah menjadi kawasan pedestrian. Proyek ini sukses menghidupkan ruang publik kota dan meningkatkan aktivitas sosial serta ekonomi secara signifikan. Melalui buku-bukunya seperti Life Between Buildings dan Cities for People, Gehl menegaskan bahwa kualitas kehidupan kota bergantung pada seberapa baik ruang-ruangnya mampu melayani kebutuhan dasar manusia untuk bergerak, berinteraksi, dan beristirahat di lingkungan luar ruang.

Strøget Street  -  Jan Gehl -  Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making - aveharysaktidotcom

Gambar Strøget Street - Jan Gehl - Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making.

4. Project for Public Spaces (berdiri tahun 1975)

Project for Public Spaces (PPS) adalah organisasi nirlaba yang berbasis di New York, yang sejak tahun 1975 aktif mengembangkan teori dan praktik place making di berbagai kota di dunia. PPS didirikan oleh sekelompok urbanis yang terinspirasi oleh gagasan William H. Whyte, dan bertujuan untuk menjadikan ruang publik sebagai pusat kehidupan komunitas. PPS menciptakan berbagai panduan, toolkit, dan proyek-proyek berbasis komunitas yang mendukung transformasi ruang kota menjadi tempat yang aktif, inklusif, dan penuh makna. Organisasi ini juga dikenal karena prinsip “Power of 10+” yang menyarankan bahwa setiap ruang publik sebaiknya memiliki setidaknya 10 fungsi atau aktivitas berbeda agar tetap hidup. Melalui pendekatan kolaboratif dan partisipatif, PPS berhasil memopulerkan place making sebagai metode yang dapat diadaptasi dalam berbagai konteks sosial dan budaya, dari skala kecil hingga proyek perkotaan yang lebih luas.

Highlandtown Park Shine  -  Project for Public Spaces (PPS) -  Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making - aveharysaktidotcom

Gambar Highlandtown Park Shine - Project for Public Spaces (PPS) - Contoh Penerapan Metode Perancangan Place Making.

Tabel Perbandingan Metode Place Making Dengan Metode Perancangan Lainnya

Aspek Place Making Form Follows Function Biophilic Design Sustainable Design
Fokus Utama Kualitas ruang dan keterlibatan sosial Fungsi sebagai dasar bentuk arsitektur Koneksi manusia dengan alam Efisiensi sumber daya dan keberlanjutan
Skala Lingkungan dan ruang publik Bangunan Bangunan dan lanskap Bangunan hingga kota
Nilai Tambah Makna sosial dan identitas tempat Kejelasan fungsi dan efisiensi bentuk Kesehatan dan kenyamanan psikologis Pengurangan jejak ekologis
Keterlibatan Komunitas Sangat tinggi Rendah Sedang Sedang hingga tinggi
Dapat Diidentifikasi Sebagai Gaya Arsitektur? Tidak Ya Belum (lebih ke pendekatan) Tidak (lebih ke prinsip)

Kesimpulan

Metode perancangan place making menawarkan pendekatan desain yang humanistik dan kontekstual, sangat sesuai diterapkan dalam revitalisasi ruang kota dan pembangunan komunitas. Meskipun bukan merupakan gaya arsitektur dalam arti formal, place making memiliki kekuatan dalam menciptakan tempat yang hidup, bermakna, dan disukai penggunanya. Namun, karena keterbatasannya yang hanya fokus pada pengubahan ruang dan belum membentuk ciri bentuk arsitektur tertentu, metode ini lebih tepat disebut sebagai strategi desain ruang publik daripada aliran arsitektur. Ke depannya, kombinasi antara place making, desain berkelanjutan, dan partisipasi komunitas menjadi kunci menciptakan kota yang inklusif dan manusiawi.

Referensi

Courage, Cara, Anita McKeown. (2019). Creative Placemaking: Research, Theory and Practice. Routledge

Courage, Cara, Tom Borrup, Maria Rosario Jackson, Kylie Legge, Anita Mckeown, Louise Platt, Jason Schupbach. (2021). The Routledge Handbook of Placemaking. Routledge

Fleming, Ronald Lee. (2007). The Art of Placemaking: Interpreting Community Through Public Art and Urban Design. Merrell Publishers

London, Fred. (2020). Healthy Placemaking: Wellbeing Through Urban Design. RIBA Publishing

Thomas, Derek. (2016). Placemaking: An Urban Design Methodology. Routledge

Posting Komentar

Berikan Komentar (0)

Lebih baru Lebih lama